Sampah
dapat membawa dampak yang sangat buruk bagi kesehatan masyarakat apabila tidak
dapat ditanggulangi. Jika sampah tersebut dibuang sembarangan atau ditumpuk
tanpa adanya pengelolaan yang baik, maka akan menimbulkan berbagai macam
masalah kesehatan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Sebagian dari kita pun
tidak menyadari bahwa setiap hari terjadi penumpukan sampah baik sampah yang
organik maupun anorganik.
Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2014 tempat penyimpanan limbah B3 harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Lokasi harus bebas banjir dan tidak rawan
bencana alam, dapat direkayasa dengan teknologi untuk perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan harus berada di dalam penguasaan setiap orang
yang menghasilkan Limbah B3.
2. Fasilitas penyimpanan limbah B3 yang
sesuai dengan jumlah Limbah B3, karakteristik limbah B3, dan dilengkapi dengan
upaya pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup.
3. Memiliki
peralatan penanggulangan keadaan darurat.
Pengumpulan
limbah B3 dapat dilakukan dengan cara segregasi dan penyimpanan, contoh segregasi limbah B3 sesuai dengan jenis dan
karakteristiknya antara lain segregasi oli bekas dengan minyak kotor (slope
oil) dan segregasi antara slag baja dengan slag tembaga. Sedangkan penyimpanan limbah B3 paling lama:
1. 90
(sembilan puluh) hari sejak Limbah B3 dihasilkan, untuk Limbah B3 yang
dihasilkan sebesar 50 kg (lima puluh kilogram) per hari atau lebih.
2. 180
(seratus delapan puluh) hari sejak Limbah B3 dihasilkan, untuk Limbah B3 yang dihasilkan
kurang dari 50 kg (lima puluh kilogram) per hari untuk Limbah B3 kategori 1.
3. 365
(tiga ratus enam puluh lima) hari sejak Limbah B3 dihasilkan, untuk Limbah B3
yang dihasilkan kurang dari 50 kg (lima puluh kilogram) per hari untuk Limbah
B3 kategori 2 dari sumber tidak spesifik dan sumber spesifik umum.
4. 365
(tiga ratus enam puluh lima) hari sejak Limbah B3 dihasilkan, untuk Limbah B3
kategori 2 dari sumber spesifik khusus.
Sebenarnya limbah tidak bersalah
tetapi yang salah adalah perbuatan dari manusianya itu sendiri dalam membuang
limbah. Limbah pastinya diakibatkan oleh manusia itu sendiri, perlu diketahui
bahwa banyak penyebab yang diakibatkan dari manusia dalam membuang limbah
secara sembarangan, yakni di dalam pikiran sebagian masyarakat pada umumnya
menganggap bahwa membuang limbah sembarangan ini bukanlah hal yang salah dan
wajar untuk dilakukan. Norma dari lingkungan sekitar seperti keluarga, sekolah,
masyarakat, atau bahkan tempat pekerjaan. Pengaruh lingkungan merupakan suatu
faktor besar didalam munculnya suatu perilaku. Contohnya, pengaruh lingkungan
seperti membuang limbah sembarangan, akan menjadi faktor besar dalam munculnya
perilaku membuang limbah sembarangan.
Masyarakat
yang membuang sampah tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan status pekerjaan.
Baik itu dari kalangan remaja, kalangan orangtua, bahkan anak-anak
pun sering membuang sampah sembarangan. Mungkin anak-anak tersebut membuang
sampah sembarangan karena mereka melihat kebiasaan dari orangtuanya yang tidak
pernah menjaga kebersihan lingkungan, salah satunya sering membuang sampah
sembarangan.
Kebiasaan
membuang sampah dilakukan oleh masyarakat secara terang-terangan di depan umum
tanpa rasa malu dan bersalah sedikitpun. Mereka yang membuang sampah
sembarangan itu tidak memikirkan bagaimana jika orang lain yang melihat
perbuatannya.
Disisi lain, mereka ketika melihat
orang lain yang membuang sampah sembarangan tidak ada yang menegur, bahkan
mereka sama sekali tidak memperdulikan hal tersebut. Dari ketidakpedulian
tersebut telah menjadikan aktivitas membuang sampah itu sulit dihentikan dan
lambat laun menjadi sebuah kebiasaan.
Seseorang akan melakukan suatu
tindakan yang dirasa mudah untuk dilakukan. Jadi, orang tidak akan membuang
sampah sembarangan jika tersedianya banyak tempat sampah. Tempat yang kotor dan
memang sudah banyak sampahnya. Tempat yang asal mulanya terdapat banyak sampah,
bisa membuat orang yakin bahwa membuang sampah sembarangan diperbolehkan
ditempat tersebut. Jadi, warga sekitar tanpa ragu untuk membuang sampahnya di
tempat tersebut.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014, Pengolahan limbah B3 adalah proses
untuk mengubah jenis, jumlah, dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak
berbahaya dan tidak beracun serta memungkinkan untuk dimanfaatkan kembali.
Teknik pengolahan limbah B3 diantaranya:
a.
Netralisasi.
Netralisasi dapat dilakukan dengan cara mencampur limbah yang
bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan di
dalam suatu bak equalisasi pada level
ketinggian tetap. Bak ini disebut sebagai tangki netralisasi.
b.
Pengendapan.
Pengendapan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk logam yang ada
ke dalam bentuk hidroksidanya. Hal ini dilakukan dengan penambahan larutan
kapur atau soda kostik dengan mempertahankan kondisi pH dimana hidroksida logam
tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum.
c.
Koagulasi dan
Flokulasi.
Koagulasi dan Flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan
tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan secara alami padatan
tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi dilakukan dengan menambahkan
bahan kimia koagulan ke dalam air limbah. Koagulan yang sering digunakan di
lingkungan industry antara lain larutan kapur, tawas dan lain-lain.
d.
Oksidasi-Reduksi
(Redoks).
Oksidasi adalah reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan
valensi materi yang bereaksi dengan melepaskan electron. Reduksi adalah reaksi
kimia yang akan menurunkan bilangan valensi materi yang bereaksi dengan
menerima electron dari luar.
e.
Insenerasi.
Pengolahan secara insenerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa
B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.
f.
Stabilisasi/solidifikasi.
Pengolahan secara stabilitasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah
sifat fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat B3
agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa
monolit dengan struktur yang kekar atau massive.
g.
Penimbunan.
Pengolahan dengan cara ini memerlukan lokasi yang luas, jauh dari
pemukiman penduduk dan aktivitasnya. Lokasi penimbunan juga tidak boleh
berhubungan dengan faktor-faktor pendukung kehidupan seperti tempat sumber air
atau lokasi serapan tanah. Lokasi penimbunan yang sudah penuh harus ditutup dan
tidak dapat digunakan sebagai lokasi pemukiman.
Nah……untuk lebih jelasnya silahkan
unduh saja fail Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2014 tersebut pada tautan berikut:
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »